Teruntuk, dirimu di awan.
Pagi ini, aku duduk termenung sendirian di sebuah kedai kopi. Rasanya sepi, hanya aku sendiri dan dua orang pesepeda mengisi kedai ini. Aku sengaja memilih kursi di luar. Menghadap ke jalanan. Banyak orang lalu lalang, bersepeda, berjalan, tertawa bersama teman-teman mereka. Kulihat diriku. Sendiri, hanya ditemani ipad, blackberry, sebuah quiche, dan secangkir kopi.
Ada kalanya, aku sangat menikmati kesendirian ini. Dalam sepi, aku melihat banyak hal. Aku merenung, akan hal yang telah kulalui atau akan kulewati nanti. Seruputan kopi hazelnut mocca hangat yang pertama, mengingatkanku akan sebuah kehangatan. Rasanya setiap alirannya, mengisi rongga darah ini akan kehangatan yang kuterima. Aku teringat akan diriku, beberapa tahun yang lalu. Dimana aku hanya tau, gue dan elo. Bukan kita.
Siapa yang tidak pernah mengalami apa yang aku rasakan. Dimana setiap hal yang dilewati hanya lo-lo, dan gue-gue. Seseorang mengajarkan padaku, bagaimana "kita" yang sesungguhnya. Apa yang aku lakukan, bukan hanya untuk lo dan gue. Tapi untuk "kita".
Banyak pria silih berganti dalam hidupku. Sampai pada enam tahun lalu, aku terikat dengan seorang pria. Pada awalnya, aku hanya tau percintaan yang fun and easy going. Apa itu serius dan komitmen hanya hiasan kata dalam hati. Satu, dua, dan tiga tahun berjalan.. Penuh main-main, canda, pokoknya yang penting lo seneng dan gw seneng. Sampai pada tiga tahun terakhir, dia memutuskan untuk berpisah. Alasan klise, tidak cocok. Dua bulan mengalami masa termewek-mewek. Bukan sekedar sedih karena berpisah, tapi saat berpisah itu aku semakin menyadari " oh my gosh, i want him as my life partner".
Dua bulan dalam kesendirian itu mengajarkan aku banyak hal. Dimana, aku tidak lagi bisa memikirkan lo dan gue, melainkan kita. I have tried so hard to change my life a lot. Dan ketika, ia meminta diriku untuk membina sebuah "kita" lagi, aku sangat bersyukur. Aku memutuskan untuk membina kita yang lebih serius dan lebih baik lagi.
Catatan ini akan menjadi panjang apabila kuuraikan semua. Lagi, seruputan kopi dan gigitan quiche membawaku untuk berpikir ke mundur sejenak. Siapa yang tidak ingin tahu masa depan mereka? Dengan lugu, aku iseng bertanya pada seseorang tentang aku dan dia. Aku menceritakan kekuatiran terbesarku. Yang kudapatkam, "lo dan dia ga jodoh" tapi jalanin aja, biarkan mengalir seperti air.
Aku bukan seseorang yang religius. I do belive in God. Tapi bukan berarti aku harus berserah pada takdir. Aku berusaha mengubah jalanku, mengubah takdirku. Manusia menciptakan takdirnya sendiri, God is only create the way for us to walk through.
Pernah kukatakan pada seorang teman, "tunggu sampai taun depan, kalo masih ga ada kejelasan. Bakal gw cut." But, time has its way to change my mind.
No comments:
Post a Comment