Wednesday, July 7, 2010

namaku tisyu

Namaku adalah tisyu. Nyawaku berupa lembaran. Dulu aku hanya terdiri dari dua nyawa, tapi sekarang mereka menambah nyawaku satu lembar lagi. Katanya supaya aku lebih kuat.

Ayah dan ibuku adalah pohon. Aku dilahirkan dengan inseminasi si tangan-tangan besi. Kudengar, ibuku sangat kesakitan sekali diambil ovumnya untuk inseminasi. Katanya, proses kelahiranku sangat rumit.

Sejak lahir aku tidak pernah bertemu kedua orangtuaku. Aku sudah berpisah bahkan sejak aku dilahirkan. Kalau bayi manusia lahir, mereka dibungkus dengan kain untuk menghangatkan tubuhnya. Kalau aku, tubuhku langsung diberi pakaian dari plastik. Pakaianku bermacam-macam. Kadang mereka memberi gambar bunga yang berwarna-warni, hewan-hewan, bahkan tokoh-tokoh kartun sekalipun.

Aku tidak peduli apa pakaianku. Aku tidak punya mata untuk melihat, aku hanya bisa merasa. Aku dapat merasakan kesesakkan dan kesakitan. Dalam satu pakaian saja, aku ditumpuk bersama teman-temanku yang lain.

Seorang temanku pernah bercerita alasanku dilahirkan. Katanya, untuk membantu manusia.
Ah, aku terlalu panjang bercerita. Aku hanya sedang mengenang hidupku karena aku sudah ada yang memiliki. Seorang manusia berambut panjang. Aku harap ia merawatku dengan baik.

Hidupku gelisah selama beberapa hari ini. Satu persatu temanku menghilang. Tinggal satu lagi, hingga diriku untuk keluar dari pakaian ini. Aku gelisah sekaligus tidak sabar. Sepertinya udara kebebasan akan melepaskanku dari kesesakkan ini.

Kini tinggal aku sendiri di pakaian ini. Manusia itu melucuti pakaianku. Aku bisa mencium udara bebas, tapi tidak lama. Bau segarnya segera digantikan oleh bau busuk. Ahh, baunya semakin menyengat!!

Tubuhku dimasukkan ke dalam pakaian pemilliku. Tiba-tiba kulihat sekelilingku dipenuhi rerimbunan berwarna hitam. Tubuhku digesek-gesekkan kedalam rimbunan itu. Aku tidak tahan baunya. Aku lebih menyukai bau rumah si tangan-tangan besi daripada bau rerimbunan ini. Rerimbunan ini menyakitkan tubuhku. Baunya menyesakkan jiwaku, dan permukaannya mengoyakkan badanku.

Aku dapat merasakan kesakitan yang luar biasa. Kulitku sedikit demi sedikit terkoyak. Lembaran nyawaku ikut bersama terkoyak. Aku ingin menjerit, ingin mengigit kulit di balik rerimbunan itu. Tapi aku tak bisa. Aku tahu, nyawaku akan habis sebentar lagi. Aku akan hilang, menyusul orang tua dan teman-temanku.

Ini nafas terakhirku. Kata-kata yang sempat kudengar di ambang kematianku hanyalah, "Aduh ketek gue basah". Aku tak mengerti, dan semua gelap....

No comments:

Post a Comment